Selasa, 11 Februari 2014

ILMU DAKWAH



BAB I
PENDAHULUAN
A.                Latar Belakang
Meretas keilmuan dakwah, tak dapat dipisahkan dari perjalanan yang telah dilakukan untuk itu. Walaupun, secara substansif dakwah Islam sudah ada berbarengan dengan adanya Islam sebagai pesan dakwah para nabi dan rasul Allah SWT. di sepanjang sejarah kemanusiaan. Penjelasan tentang substansif dakwah itu pun sudah banyak dilakukan oleh para ulama dulu, salah satunya dalam karya tulis ilmiahnya. Namun kondisi pada saat itu masih berserakan, belum terfokuskan dalam karya tulis ilmiah kedakwahan sebagai sebuah disiplin ilmu, misalnya Iman Ghazali menulis tentang dakwah dalam bab amar ma’ruf nahyu munkar, begitu pula para penulis yang sezaman lainnya.[1]
Upaya pengembangan keilmuan dakwah di Indonesia pada khususnya, telah dilakukan secara berkelanjutan, pada rentang waktu yang cukup panjang. Pada tahun 1977, diadakan: “Sarasehan Nasional Ilmu Dakwah” di Fakultas Dakwah Sunan Ampel Surabaya. Sarasehan itu dilatarbelakangi kesadaran, bahwa pendirian Fakultas Dakwah bukan lahir dari “janin” disiplin keilmuan, melainkan dari pertimbangan aspek praktis akan kebutuhan praktisi da’i berkualifikasi Sarjana. Dengan pengadaan sarasehan tersebut, semula diharapkan menjadi titik awal pembangunan kerangka keilmuan dakwah. Namun dimungkinkan karena kurang representatifnya pembicara yang hadir saat itu, sehingga hasilnya belum sampai kepada yang diinginkan.[2]
Selang setelah itu, berbagai acara-acara seperti seminar-seminar tentang dakwah dilakukan, sampai pada tahun 2003 tanggal 13-14 Mei dengan diadakannya “kongres Nasional I Profesi Dakwah Islam”, yang dihadiri dari berbagai utusan, baik dari praktisi dakwah, ormas,  lembaga-lembaga keislaman Indonesia. Pada Kongres itu berhasil dibentuk organisasi “Asosiasi Profesi Dakwah Islam Indonesia” disingkat APDII.
Perjalanan dakwah di Indonesia, memberi gambaran betapa seriusnya para akademisi dakwah, sehingga dapat terbentuk suatu Asosiasi Dakwah taraf Nasional. Dari upaya-upaya tersebut semakin dirasakan keberhasilan yang telah dicapai, dan semakin diketahui pula berbagai garapan panjang yang tersisa. Hingga untuk kesempurnaannya, ketua APDII memprediksi butuh waktu sekitar 25 tahun lagi. Tentu saja, kita berharap prediksi yang penuh perhitungan itu bisa jadi kenyataan, meski dengan catatan apabila keseriusan dan kesemangatan para civitas akademika dakwah seperti sekarang ini tidak mengalami kelunturan.[3]  
Oleh sebab itu, penulis bermaksud sebagai bagian dari kontribusi di dalam dakwah itu tersendiri, penulis hendak membuat makalah perihal tentang kajian ilmu dakwah. Terkhusus bagi penulis, penulis akan membahas gambaran dakwah secara general dan melalui metodelogi tertentu guna terselesaikannya makalah ini.

B.     Maksud Penulisan
a.       Apa yang dimaksud dengan kerangka Filosofis Dakwah?
b.       Apa yang dimaksud dengan kerangka Teoritis Dakwah?
c.       Apa yang dimaksud dengan kerangka Teknis Dakwah?

C.    Tujuan Penulisan
a.       Mengetahui maksud dari kerangka Filosofis Dakwah
b.      Mengetahui maksud dari kerangka Teoritis Dakwah
c.       Mengetahui maksud dari kerangka Teknis Dakwah

D.    Metode Penulisan
Untuk mendapatkan data dan informasi yang di perlukan, penulis mempergunakan metode literatur pustaka, yaitu mengkaji dari beberapa sumber buku dan beberapa sumber Blog dari internet.

E.     Sistematika Penulisan
BAB I, Yang meliputi: Latar Belakang, Maksud Penulisan, Tujuan penulisan, Metode penulisan, dan Sistematika penulisan.
BAB II, Yang meliputi: Penjelasan kerangka Filosofis,  Kerangka Teoritis, Kerangka Teknis.
BAB III, Yang Meliputi: Kesimpulan, saran-saran.


BAB II
PEMBAHASAN
A.                KERANGKA FILOSOFIS
1.                  Makna Dakwah

Dakwah secara etimologi (bahasa) berasal dari bahasa arab berasal dari isim masdar yaitu dari fi'il  da'a yad'u du'aan wa dakwatan yang artinya permohonan, undangan, panggilan, ajakan. Secara kebahasaan makna dakwah masih bersifat umum, yang bisa berupa ajakan, permohonan, panggilan yang ditujukan bukan hanya kepada ajaran Islam saja, akan tetapi masih bisa kepada ajaran selain Islam, disebabkan karena maknanya sendiri yang tidak mengandung arti pengkhususan apa objek yang jadi sasaran dakwah itu sendiri.
Sedangkan Dakwah secara terminologis (istilah) memiliki arti: ajakan/ seruan kepada Islam. Yang di dalam pengertian ini, istilah dakwah sendiri dibagi menjadi dua garis besar menurut artinya:
a.       Dalam arti yang Khusus: “Ajakan/Seruan kepada semua manusia (sasarannya adalah orang yang belum memeluk Islam) agar mereka mau memeluk Islam.”
Allah SWT. berfirman dalam surat Ibrahim ayat 1.
Alif Lam Ra. (Ini adalah) Kitab yang Kami turunkan kepadamu (Muhammad) agar engkau mengeluarkan manusia dari kegelapan kepada cahaya terang benderang dengan izin Tuhan, (yaitu) menuju jalan Tuhan yang Maha Perkasa, Maha Terpuji.”(QS. Ibrahim:1)
Untuk lebih memahami makna dakwah secara khusus, terdapat pembanding untuk membedakan antara istilah:
TERM
ARTI
TUJUAN
SIFAT
KHALAYAK
MATERI
Dakwah
Ajakan/Seruan
Membangkitkan keinsyafan untuk kembali ke jalan Allah
Ekspansif/  memperbesar jumlah
Seluruh manusia (yang belum memeluk Islam)
Islam
Ta’lim
Pembelajaran
Menambah pengetahuan
Promotif, meningkatkan pengetahuan
Muslim yang perlu ditingkatkan pengetahuannya
Islam
Tadzkir
Peringatan
Mengingatkan kehidupan orang terhadap sesuatu yang harus selalu diingat
Reparatif
Orang lupa, merasa diri lupa, sekedar dianggap lupa
Islam
Tashwir
Lukisan tentang sesuatu pada pikiran
Membangkitkan pengertian akan sesuatu yang dilupakan
Progresif, memperjelas ruang lingkup pengertian
Masyarakat yang dikehendaki pengertian, perhatian dan simpatinya
Islam
Jadi, makna dakwah secara khusus disini menunjukkan bahwa sasaran dakwah atau objek dakwah itu sendiri adalah untuk mengajak orang-orang non Islam (kafir) agar dapat mengenali serta tersadarkan untuk kembali atau memeluk agama Islam.
b.      Dalam arti yang Luas:”Perubahan dari satu situasi/ kondisi kepada situasi/ kondisi yang lebih baik (diarahkan pada ajaran Islam secara kaffah).”
Allah SWT berfirman.
“Dan Kami tidak mengutus engkau (Muhammad), melainkan kepada semua umat manusia sebagai pembawa berita gembira dan sebagai pemberi peringatan, tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui,” (QS. Saba’:28)
Di dalam pengertian luas yang lain pula, dakwah berperan amat banyak terhadap istilah-istilah yang muncul sebagai orientasi kepada ajaran Islam, diantaranya terdapat dalam istilah-istilah:
-           Yad’una ilal khoeri
-           Amar ma’rif
-           Nahyul munkar
-           Taghyirul munkar
-           Tabligh
-           Taushiyah
-           Khutbah
-           Maw’idhoh
-           Mujadalah, dll.
Hal ini menunjukan, bahwa dakwah secara luas merupakan pokok-pokok penting agama untuk mengajak orang kedalam keadaan yang lebih baik, yang muaranya memang mengajak agar memeluk ajaran agama Islam secara komprehensif (menyeluruh/sempurna).
Dengan demikian, dakwah adalah cara setiap Muslim (umat Nabi) untuk menyeru  orang-orang terhadap kebajikan-kebajikan yang telah diajarkan oleh Nabi yang diperintahkan Allah, salah satunya berdasarkan kitab yang diterima oleh Nabi dari Allah SWT. Layaknya tongkat estafet, dakwah adalah kewajiban setiap muslim untuk menggulirkan amalan-amalan kebaikan pada yang lainnya, yang disana merupakan cara Nabi SAW pula., sehingga ajaran-ajaran/ petunjuk dari Allah dapat tersampaikan kepada kita untuk dijadikan pedoman penyelamat hidup umat manusia.

2.                  Dasar dan Hukum Dakwah
Di dalam menyeru manusia kedalam sebuah jalan, pasti manusia (orang yang menyeru) mempunyai ekspekatasi (harapan) yang lebih sehingga dia mau untuk mengajak orang lain, yang tentunya hal tersebut berlandaskan kepercayaan akan sesuatu yang memang tingkat kebenarannya mutlak dan absolut.
Ajaran Islam mengajak serta menyuruh setiap orang untuk berlaku baik, patuh terhadap perintah Allah dan menjauhi larangan-Nya itu sudah menjadi suatu kewajiban yang mana memang telah termaktub di dalam ajaran-ajaran Islam.
Imam Ahmad, Abu Daud, dan At-Tirmidzi, meriwayatkan hadist tentang dialog antara Rasulullah SAW dengan shahabat Mu’adz bin Jabbal: “Rasulullah bertanya kepada Muadz: “(wahai Mu’adz) bagaimana cara kamu menetapkan hukum terhadap perkara yang ditujukan kepadamu?. Mua’dz menjawah:”Aku akan menghukumi dengan Kitabullah (Al-Qur’an), selanjutnya Rasulullah bertanya kembali: “kalau tidak ada di dalam Al-Qur’an? Mu’adz menjawab: “maka dengan Sunnah Rasulullah (Al-Hadist).” Rasulullah bertanya lagi: “kalau tidak ditemukan dalam sunnah Rasulullah?. Mu’adz menjawah:”Aku akan berijtihad dengan pikiranku.”Kemudian, Rasulullah SAW menepuk dada Mu’adz dan berkata:”Alhamdulillah, Allah telah memberi taufiq kepada utusan Rasulullah SAW, terhadap sesuatu yang diridhoi Rasulullah SAW.”(H.R. Abu Dawud)
Di dalam mengamalkan kebaikan –kebaikan itu pula, manusia diberi tiga cara ikhtiar yang lebih benar agar hidupnya mampu terarah kedalam kebaikan. Adapun ketika orang Islam hendak menetapkan suatu atau menjalankan suatu hukum, mestilah disesuaikan dengan Al-Qur’an, sebagai landasan/ pedoman pertama Umat Islam, apabila tidak ada di dalam Al-Qur’an maka baru beranjak kedalam landasan hukum As-Sunnah, apa-apa yang telah Nabi contohkan. Namun, apabila memang belum, maka berijtihadlah yang tentu tidak menyalahi hukum, serta norma yang sudah ditentukan dalam Al-Qur’an dan Al-Hadist.

1.      Landasan Al-Qur’an
Al-Qur’an tidak akan berfungsi sebagaimana sekarang ini tanpa kehendak Allah SWT., manusia yang berkecenderungan sebagai mahluk lemah pasti membutuhkan pertolongan atau petunjuk agar menjalani hidup ini penuh kelayakan jasadiyyah maupun ruhaniyyah. Oleh sebab itu Allah memberikan jalan dengan menurunkan petunjuk-Nya ke dunia ini dengan menurunkan  kitab penyempurna yang di bawakan dan diajarkan lewat utusannya Rasulullah SAW sebagai agama Rahmatan Lil Alamin. Sebagaimana Firman Allah SWT:
Dan Kami tidak mengutus engkau (Muhammad), melainkan untuk (menjadi) Rahmat bagi seluruh Alam.” (Q.S Anbiya:107)
“Dan Kami tidak mengutus engkau (Muhammad), melainkan kepada semua umat manusia sebagai pembawa berita gembira dan pemberi peringatan. .” (Q.S Saba:28)
Sebelum datangnya Islam, peradaban dunia seperti di Arab kuno, menganut paham jahiliyah (kebodohan) yang amat penuh dengan kesesatan pikiran dan hati. Manusia dipaksakan untuk menuruti hawa nafsunya dan membiarkan akalnya di bunuh oleh hati mereka yang telah terpupuskan nuraninya. Namun Allah tidak membiarkan terus menerus manusia berada dalam kesesatan. Maka dengan karunia-Nya, Allah SWT mengangkat seorang utusan, yaitu Muhammad sebagai Nabi dan Rasul penutup bagi dunia ini. Sebagaimana di dalam Al-Qur’an surat Al-Jumu’ah :
“Dialah yang mengutus seorang Rasul kepada kaum yang buta huruf dari kalangan mereka sendiri, yang membacakan kepada mereka ayat-ayat-Nya, menyucikan (jiwa) mereka dan mengajarkan kepada mereka Kitab dan Hikmah (Sunnah), meskipun sebelumnya mereka benar-benar dalam kesesatan yang nyata.”(Q.S Al-Jumu’ah: 2)

2.      Landasan As-sunnah
As-sunnah atau disebut juga Al-Hadist adalah bagian kedua di dalam hukum Islam, sebagai landasan pendukung Al-Qur’an sebagai kitab suci yang mutlak. Secara istilah hadist adalah apa-apa yang disandarkan kepada Nabi berupa perkataan, perbuatan, dan persetujuan Nabi. Selain fungsi hadist adalah sebagai landasan pendukung ketetapan-ketetapan dari Al-Qur’an, Rasul pun menerangkan banyak hal yang bisa jadi pembelajaran hidup dan menjadi suri tauladan bagi umatnya, diantaranya:
a.                   Tentang Penyempurnaan Ahlak
“Aku ini diutus hanyalah untuk menyempurnakan budi pekerti luhur”(H.R Ahmad)
Selain menjunjung tugas yang agung dari Allah sebagai nabi terakhir, Rasulullah pun menunjukkan kerendahan hatinya. Tidak serta merta setelah nabi jadi utusan Tuhan pencipta alam, beliau lalu berubah sombong dan seolah-olah memperlihatkan derajatnya yang lebih tinggi di banding orang-orang. Namun, dengan mulianya Nabi mengajak kepada manusia untuk menjadikan hidupnya berbudi pekerti luhur.
b.                  Tentang Perubahan Sosial
Perubahan sosial adalah perubahan di dalam tatanan kemasyarakatan di mulai dari kehidupan individual ataupun kelompok yang ada di dalam ruang lingkup masyarakat itu sendiri, berupa tingkat ekonomi, budaya, kehidupan beragama serta yang lainnya. Hasil dari perubahan itu sendiri adalah berupa nilai yang berdampak positif maupun negatif. Akan tetapi Nabi Muhammad SAW. menyikapinya dengan bijak seperti dalam hadist.
“Barangsiapa diantara kamu melihat kemungkaran, maka janganlah mengikutinya. . .(H.R Muslim)”
Hadist ini menjelaskan ketika kita dipersudutkan dengan hal-hal yang munkar, maka sebaiknya tidak mengikutinya karena hal tersebut bisa membuat perselisihan di dalam kehidupan sosial kemasyarakatan.
c.                   Tentang kadar kemampuan Manusia
Manusia diciptakan atas kesempurnaan, manifestasi dari Allah yang Maha Sempurna, akan tetapi diantara hal-hal tersebut, manusia masih kurang atau jauh akan karunia yang telah Allah berikan.
“Sungguh Kami telah mengutus dikalangan setiap umat seorang rasul: Hendaklah kalian semua menyembah Tuhan dan jauhilah Thagut. Diantara mereka ada yang mendapat hidayah dari Allah, dan diantara mereka ada yang pasti mengalami kesesatan. . .”(Q.S 16:36)
Oleh sebab itu, Nabi diturunkan oleh Allah untuk menyelamatkan orang-orang dari kesesatan dengan mengikuti jalan dan juga berpedoman kepada kitab-Nya, agar nantinya tidak mendapatkan siksa dari Allah SWT.

3.                  Landasan Al-Ijtihad
Ijtihad adalah mencurahkan/mengerahkan kemapuan berfikir manusia atas usaha indera, akal dan hati secara mendalam, yang bersesuaian atau tidak bertentangan dengan Al-Qur’an atau Al-Hadist. Adapun pengaktualisasian Ijtihad sendiri menjadi metode Dakwah mempunyai beberapa fase.
a.        konseptualisasi realitas dakwah dengan memanfaatkan potensi indera, akal, dan qalbu dalam menegakkan hak dan keadilan.
b.       menggunakan pemikiran secara syumuli (holistik) berdasarkan petunjuk Al-Qur’an yang dipadukan dengan teori-teori pengetahuan.
c.        menghasilkan HIKMAH, yaitu ilmu yang bisa membangkitkan amal.
                        Di dalam ilmu dakwah, selain terdapat perintah langsung dari Al-Qur’an dan Al-hadist untuk mengajak serta mengamalkan dakwah itu sendiri, para ulama pun berijtihad agar dakwah dapat menjadi efektif di tataran pelaksanaannya. Beberapa hasil ijtihad para ulama di dalam dakwah, diantaranya:
a.       Teori Dakwah : Disiplin yang memberikan kerangka teori dan metodologi dakwah               memberikan dasar –dasar teoritik dan metodologik keahlian dakwah.
b.      Teknologi Dakwah : Disiplin yang memberikan kerangka teknik operasional dakwah           Memberikan kemampuan teknik keahlian profesi dakwah.
Dari hasil ijtihad ini, penyampaian atau ajakan terhadap agama Islam menjadi lebih terbantu agar terciptanya tujuan dakwah sendiri, yakni mengajak kedalam ke kaffah-an Islam.
Adapun pelaksanaan dakwah sendiri, harus sesuai dengan dalil diperintahkannya dakwah yang menjadi hukum dan pegangan para Muslim untuk lebih percaya di dalam pelaksanaannya. Firman  Allah dalam surat An-Nahl:
“Serulah (manusia) kepada jalan Tuhanmu dengan hikmah dan pengajaran yang baik, dan berdebatlah dengan mereka dengan cara yang baik.. .”(Q.S An-Nahl:125)
Dengan seruan atau perintah Allah lewat Al-Qur’an di dalam ayat ini menjelaskan bahwa dakwah atau mengajak manusia kedalam agama Islam (Jalan Allah) hukumnya WAJIB. Dan beberapa ayat di dalam Al-Qur’an menjelaskan.
a.       Untuk menegakkan Dakwah Islam sesuai dengan kemampuan masing-masing, hukumnya wajib ‘ain.
”Kamu (umat Islam) adalah umat terbaik yang dilahirkan untuk manusia, (karena kamu) menyuruh (berbuat) yang makruf, dan mencegah dari yang mungkar, dan beriman kepada Allah.” (QS. Ali Imran:110)
b.      Menegakkan dakwah secara profesional hukumnya wajib kifayah.
“. . .Mengapa sebagian dari setiap diantara golongan diantara mereka tidak pergi untuk memperdalan pengetahuan agama mereka dan untuk memberi peringatan kepada kaumnya. .”(QS. At-Taubah:122)
c.       Menegakkan organisasi yang mengelola Dakwah hukumnya Wajib ‘Ain.
“Dan hendaklah diantara kamu ada segolongan orang yang menyeru kepada kebajikan, menyeruh berbuat yang ma’ruf, dan mencegah dari yang munkar. . . .”(QS. Ali Imran:104)
3.      Fungsi dan Tujuan Dakwah
a.       Fungsi Dakwah
Adapun fungsi dakwah secara tematis adalah berupa upaya-upaya yang bersinergis untuk kelancaran dakwah itu sendiri, diantaranya berupa:
1.      Upaya mengeluarkan manusia dari kegelapan kepada cahaya kehidupan yang terang.
“Allah pelindung orang beriman. Dia mengeluarkan mengeluarkan mereka dari kegelapan kepada cahaya (iman). .”(QS. Al-Baqarah:257)
2.      Upaya menegakkan sibghoh (celupan = Agama) Allah dalam kehidupan.
“Sibghoh Allah.”Siapa yang lebih baik Sibghah-nya daripada Allah? Dan kepada-Nya kami menyembah.
3.      Upaya menegakkan Fitrah insaniyah, dengan memfungsikan manusia sebagai yang hanif atau berkecenderungan terhadap kebaikan.
4.       Menempatkan tugas ibadah manusia sebagai hamba Allah secara proporsional.
“Wahai manusia! Sembahlah Tuhanmu yang telah menciptakan  kamu dan orang-orang yang sebelum kamu, agar kamu bertakwa.”(QS. Al-Baqarah: 21)
5.      Mewariskan tugas kenabian dan kerasulan secara estafet.
“. . . Apa yang diberikan Rasul kepadamu maka terimalah. .”(QS. Al-Hasyr:7)
6.      Aktualisasi pemeliharaan Agama, jiwa, akal, generasi, dan sarana hidup.
7.      Perjuangan memenangkan ilham taqwa atas ilham fujur dalam kehidupan individu, keluarga, kelompok dan komunitas manusia.

b.      Tujuan Dakwah
Berdasarkan hukum serta fungsi dari dakwah itu sendiri, secara ideal dakwah bertujuan untuk terciptanya, terlaksananya Syari’at Islam secara kaffah dalam segala aspek kehidupan manusia berdasarkan Al-Qur’an dan As-Sunnah, ditambah dengan adanya ijtihad agar dakwah itu dapat tercapai dengan lebih mudah. Selain itu dakwah pula bertujuan agar manusia menjadi insan yang hanif atau cenderung mencari kebenaran yang sifatnya mutlak (Agama Islam) agar manusia memperoleh kebahagiaan di dunia dan akhirat, serta terhindar dari siksa api neraka.
            Wilayah Dakwah: Aspek-Aspek kehidupan
`           Di dalam pelaksanaan strategi berdakwah, para Da’i hendaknya mencermati aspek-aspek kehidupan dari waktu ke waktu sampai pada masa yang kekinian. Adapun hasil dari upaya itu sendiri, dakwah memasuki aspek-aspek: Agama, Ideologi, Politik, Ekonomi, Sosial, Budaya, Militer, pertahanan, keamanan.
a.         Aspek Agama
Adapun di dalam aspek Agama, dakwah membawakan ajaran-ajaran pokok Islam, yang meliputi:
1.      Aqidah : memaknai dari kalimat Tauhid kepada Allah yang bermakna menganggap satu atau percaya atas keesaan Allah, dakwah mengarahkan bahwa agama Islam adalah agama yang ber-Tuhankan satu yang memungkiri akan adanya Tuhan-Tuhan lain selain pada-Nya seperti ajaran-ajaran agama lainnya.
2.      Akhlaq : merupakan manifestasi dari Aqidah yang telah diyakini, sehingga berujung kepada perilaku yang berasaskan kebaikan dan menjauhi kemunkaran sesuai dengan apa yang Allah telah perintahkan.
3.      Ibadah : amalan adalah ujung tombak pencerminan bahwa manusia itu telah berhasil menjadi objek dari dakwah itu sendiri, sehingga selain perilaku yang menjadi baik, amalan pun dapat berjalan dengan baik.



b.      Aspek Ideologi
“Wahai orang-orang yang beriman! Bertakwalah kepada Allah sebenar-benar takwa kepada-Nya dan janganlah kamu mati kecuali dalam keadaan Muslim.” (QS. Ali Imran: 102)
Dakwah sebagai ideologi di dalam hidup berfungsi agar terciptanya kepribadian yang muttaqi, yang mengahasilkan pribadi Muslim:
1.      Mujahid: Pejuang, yang maknanya berjuang di jalan Allah.
2.      Mujtahid: Pemikir, yang maknanya berpikir agar tercapainya ajaran Islam ini.
3.      Mujaddid: Pembaharu, yang maknanya sebagai generasi penerus perjuangan Nabi, dengan memunculkan gagasan yang baru untuk kemajuan Agama Islam.
4.      Muhawid : Pemersatu, yang maknanya berusaha mempersatukan Umat Islam di dalam menyeru manusia dalam kebaikan.
c.       Aspek Politik
“Dan orang-orang yang kafir, sebagian mereka melindungi sebagian yang lain. Jika kamu tidak melaksanakan apa yang telah diperintahkan Allah (saling melindungi), niscaya akan terjadi kekacauan di bumi dan kerusakan yang besar.”(QS. Al-Anfal:73)
Sesuai dengan ayat diatas, Allah memerintahkan agar umat muslim menegakkan Islam di antara orang-orang kafir yang saling melindungi satu sama lainnya. Oleh sebab peran kekuasaan politik adalah jalan untuk daulah Islamiyah ini terlaksana. Maka dengan jalan dakwah hal ini bisa terjadi.
1.      Dakwah Islam harus tegak
2.      Dakwah tidak akan tegak tanpa kekuasaan (syaukah)
3.      Kekuatan tidak akan terlaksana tanpa kekuatan (Quwwah)
4.      Kekuatan tidak akan dimiliki tanpa jama’ah
5.      Jama’ah tidak akan terwujud tanpa kesatuan dan persatuan (ittihad)
6.      Tidak akan terwujud kesatuan dan persatuan tanpa Tauhidullah
7.      Tidak akan tertanam Tauhidullah tanpa kegiatan dakwah
8.      Para intelektual muslim dituntut untuk membina dan memelihara stabilitas politik.
9.      POLITIK UNTUK DAKWAH BUKAN DAKWAH UNTUK POLITIK



Apabila digambarkan tujuan dakwah dalam aspek politik seperti.
Dakwah   Syaukah   Quwwah   Jama’ah   Ittihad  Tauhidullah

d.      Aspek Ekonomi
Ekonomi adalah salah satu titik vital yang amat berpengaruh bagi kemaslahatan umat, seperti adanya sistem zakat, shadaqah dan yang lainnya. Ini merupakan salah satu cara yang mempuni agar tetap terjaganya kesejahteraan antar orang-orang Islam, khususnya bagi mereka pemeluk Islam namun kurang mampu dalam hidupnya. Adapun sorotan Islam dalam aspek ekonomi diantaranya:
1.      Islam tidak membenarkan kefaqiran dan kemiskinan
2.      Islam juga mengancam orang mukmin membiarkan dirinya dan saudaranya dalam posisi kefaqiran dan kemiskinan.
3.      Islam memerintahkan agar ada keseimbangan dalam perolehan atau penggunaan sumber daya alam.
4.      Dakwah Islam dengan pendekatan ekonomi menjadi kewajiban semua muslim.
5.      Pada tataran ini membangun prilaku ekonomi yang Islami menjadi sangat penting secara signifikan.
6.      Peranan intelektual muslim/ Da’i sangat didambakan dalam merumuskan pola-pola praktis dalam rangka pemanfaatan ibadah mallyah kaum muslimin, seperti infaq sodaqoh dan waqaf yang kesemuanya dapat menjadi sarana ketahanan di bidang ekonomi.

e.       Aspek sosial
Sesuai dengan Al-Qur’an surat Ibrahim ayat 1, yang menjelaskan bahwa  Al Qur’an yang diturunkan kepada Nabi SAW berfungsi: “mengeluarkan manusia dari kegelapan menuju terang benderang.”(Q.S Ibrahim:1) ayat ini mengacu pada aspek adanya perubahan sosial. Lalu dijelaskan di QS. Ar-Ra’d ayat 11.
“. . .Sesungguhnya Allah tidak mengubah keadaan suatu kaum sebelum mereka mengubah keadaan diri mereka sendiri...”(QS. Ar-Ra’d: 11) menjelaskan bahwa, ajaran Islam memandu berperannya manusia secara positif dalam perubahan sosial itu sendiri, serta menjelaskan pula tentang tanggung jawab kolektif yang dimulai dari tanggung jawab pribadi, di dalam mewujudkan perubahan sosial yang baik dimulai dari dakwah billisaniihal, yang menjadi persyaratan mutlak dalam mewujdukan kasalehan sosial.

f.      Aspek Budaya
Pada bidang budaya dakwah Islam memerlukan pengembangan rasa senasib dan sepenanggungan, dengan menjunjung tinggi nilai-nilai budaya yang Islami. Perbedaan harus di manage, guna mewujudkan kerjasama, berlomba dalam kebajikan. Allah berfirman:
“Wahai manusia! sungguh, kami telah menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan, kemudian Kami jadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku agar kamu saling mengenal.” (Q.S Al-Hujurat:13)
“...Kalau Allah menghendaki, niscaya kamu dijadikan-Nya satu umat (saja), tetapi Allah hendak menguji kamu terhadap karunia yang telah diberikan-Nya kepadamu, maka berlomba-lombalah berbuat kebajikan...”(Q.S Al-Maidah:48)

g.     Aspek Militer, Pertahanan, Keamanan
“Dan perangilah di jalan Allah orang-orang yang memerangi kamu, tetapi jangan melampaui batas. Sungguh, Allah tidak menyukai orang-orang yang melampaui batas.” (Q.S Al-Baqarah: 190)
Bukan hanya pada aspek basis militer, di dalam kehidupan bermsyarakat pun seluruh kaum muslim diperintahkan untuk berperan aktif sebagai unsur kontrol sosial yang melingkupi amar ma’ruf, nahyul munkar, dan taghyirul munkar. Dengan cara:
1.      Mempertebal dan memperkukuh iman kaum muslimin
2.      Meningkatkan tata kehidupan umat Islam agar mau dan mampu menjadikan hari esok lebih cerah dari hari ini.
3.      Menciptakan keamanan masyarakat, bangsa dan negara.

B.                 KERANGKA TEORITIS
1.                  Proses Pelaksanaan Dakwah
1.1.      Wilayah Kajian Dakwah
Secara teoritis ada empat wilayah kajian dakwah, yaitu:
a.       Tabligh, berfungsi menyebar luaskan ajaran Islam dengan cara mengerahkan kepada massa. Dengan penggambaran:
Tabligh (Dimensi)   Massa (Objek)    Komunikasi Massa (Teori)    Media Massa (Media) = Cetak + Elektronik
b.      Irsyad, berfungsi secara individu persuasif dengan bimbingan dan penyuluhan. Dengan penggambaran:
Irsyad     individu    Psikologi    tanya jawab, dsb.
c.       Tadbir, berfungsi menghimpun dengan diadakannya pengelolaan untuk seterusnya. Dengan penggambaran:
Tadbir    Organisasi   Manajemen    Aktifitas/orientasi = pengembangan SDM
d.      Tatwir, berfungsi mengembangkan kader di dalam memperdalami pengetahuan itu sendiri. Dengan penggambaran:
Tatwir     intra, inter dan antar budaya     Sosiologi/antrologi     penerapan = pengembangan SDM.
Adapun macam-macam dari wilayah dakwah itu sendiri, menghasilkan istilah-istilah yang menunjukan variatifnya kontek dakwah tersebut, beberapa diantaranya:
a.         Dakwah Nafsiyah: Da’i dan Mad’unya diri sendiri (kom. Intra personal)
b.        Dakwah Fardliyah: Da’i sendiri dan Mad’u sendiri: apakah tatap muka atau menggunakan media (kom. Antar personal)
c.         Dakwah Fiah Qolliah: Da’i sendiri dan Mad’unya kelompok kecil: tatap muka atau dialog (kom. Kelompok)
d.        Dakwah Hijbiyah: Da’i sendiri dan mad’u kelompok: teroganisir (kom. organisasi)
e.         Dakwah Ummah: Da’i sendiri dan mad’u orang banyak: media massa atau tatap muka (Kom. Massa)
f.         Dakwah Qobailiyah: Da’i dan Mad’u berbeda suku dan budaya dalam satu kesatuan bangsa (kom. antar budaya)
g.        Dakwah Syu’ubiyah: Dakwah antar bangsa/ antar budaya (kom. internasional)

1.2.            Unsur-unsur Dakwah
Di dalam dakwah itu sendiri, terdapat unsur-unsur yang memang adalah pokok yang tidak dapat dihilangkan ataupun di singkirkan, yaitu:
a.       Unsur Da’i: sebagai perantara agar ajaran Islam dapat terdakwahkan.
b.      Unsur Materi: sebagai bekal da’i untuk menyampaikan dakwahan kepada mad’u.
c.       Unsur Metode: sebagai cara atau siasat agar materi dakwah dari si da’i dapat tersampaikan.
d.      Unsur Media: adalah alat tambahan di dalam dalam menyampaikan dakwahan (metode tambahan).
e.       Unsur Mad’u: sebagai objek sasaran di dalam dakwah itu sendiri, tanpa objek maka dakwah tidak akan terealisasikan.
Untuk mengembangkan pemahaman masyarakat akan ajaran Islam ini sendiri, unsur Da’i sebagai penyampai harus bisa meng-handle agar interaksi antara unsur satu dengan unsur yang lainnya tidak berbenturan menjadi suatu problem dakwah. Tidak dapat dinafikan, problem pasti akan muncul dari tiap unsur, namun dengan pengembangan dan pengelolaan Da’i yang intens dapat memperkecil masalah yang timbul nantinya di setiap unsur dakwah itu sendiri.
1.3.       Tahapan Pelaksanaan Dakwah
Di dalam pelaksanaan dakwah, keperluan akan pengembangan juga pengelolaan di lakukan oleh Lembaga yang menaungi dakwah tersebut, yang menghimpun: 1. Pengumpulan Data, 2. Pemrograman, 3. Pengkomunikasian, serta 4. Evaluasi sebagai poros agar dakwah itu menjadi semakin baik dari waktu ke waktu.
Pada tahapan pengkomunikasian dirumuskan STRATEGI dakwah.
Perhatian     Ketertarikan & Keterikatan     Pertimbangan     Keputusan
                                                                                                PELAKSANAAN
Secara garis besar tahapan pada pelaksanaan dakwah dapat di ilustrasikan:
APA (materi)
Oleh SIAPA kepada SIAPA (Dai’-Mad’u)
DIMANA (tempatnya)
KAPAN (waktunya)
MENGAPA (penting disampaikan)
BAGAIMANA (caranya)

1.4.       Sasaran Dakwah
Di dalam proses dakwah itu sendiri yang memiliki unsur da’i, materi, media, metode, serta tujuan yang satu sama lainnya memiliki keterkaitan yang amat penting, sasaran dalam dakwah itu harus tertuju pada objek (Mad’u) yang di dalam prosesnya akan terjadi interaksi awal kepada pandangan (Mata), dan pendengaran (telinga) mad’u sebelum terjadinya proses interasksi antara akal dan hati si Mad’u.

1.5.       Metode dan Teknik Dakwah
Dengan metode dan teknik, da’i dapat menjalankan tujuan dakwah secara lebih mudah, fungsinya agar mad’u dapat menerima lebih cepat terlepas itu hasilnya maksimal ataupun tidak, beberapa caranya dengan:
a.       Al-Quwwah (kekuasaan/politik)
b.      Al-Qaul (Perkataan)
c.       Al-Amal (perilaku)
d.      Al-Hikmah
e.       Al-Mauidhoh al-hasanah (persuasif)
f.       Mujadalah (dialog), dsb.

1.6.       Media Dakwah
Media adalah alat vital agar dakwahan tersebut terjadi, karena lewat media itu adalah poros akan munculnya si mad’u, terlepas banyak atau sedikitnya, beberapa diantaranya:
a.       Daur Al-Ushroh (lingk. Keluarga)
b.      Daur Al-Madrasah (lingk. Sekolah)
c.       Al-Rasa-il (Surat)
d.      At-Targhib (Hadiah)
e.       Al-Qishash (ceritera)
f.       Al-Qosm (Sumpah)
g.      Al-Amtsal (simulasi)
h.      Al-Kitabah (bahasa tulisan)
i.        Elektronik, dan median yang lainnya.

1.7.       Bentuk seruan/Ajakan
Seruan atau ajakan, secara garis besar terdiri dari:
a.       Lisan (ahsanu qaula)
b.      Tulisan (bilkitabah)
c.       Perbuatan (Amala)
d.      Keteladanan (Uswah)
e.       Simbol-simbol
f.       Bahasa keadaan (bilisanii hal)

Manfaatkan IPTEK !!
Allah menghendaki umatnya membaca apa saja selama bacaan tersebut “bismi robbika” dalam arti bermanfaat untuk kemanusiaan: bacalah alam, tanda-tanda zaman, sejarah, termasuk diri sendiri, dan segala sesuatu yang dapat dijangkau (Q.S Al-Alaq:1-5), di dalam surat Al-Jatsiyah juga Allah menyuruh manusia untuk bertafakur (berfikir) tentang penciptaan alam raya, benda-benda langit agar manusia sebagai mahluknya senantiasa untuk selalu mengingat Allah (dzikrullah) dan bersyukur akan apa yang telah dikaruniakan-Nya.
Di dalam Al-Qur’an dan As-Sunnah pula Allah serta Rasul memerintahkan dan mengajak manusia agar terus berupaya meningkatkan kemampuan ilmiahnya. “Qul Rabbi zidni ‘Ilma”. Karena “fauqa kuili dzi ilmin ‘alim= diatas setiap pemilik ilmu ada yang amat mengetahui. Seperti di dalam surat Al-Alaq pula, inti dari dakwah adalah digariskannya titik tolak atau motivasi pencarian ilmu. Demikian juga titik akhirnya, haruslah karena Allah (bernilai Rabbani). Dengan melalui kemampuan memanfaatkan ilmu pengetahuan dan teknologi, dakwah dapat terlaksana dengan sempurna.
2.                  Mutu Dakwah
Dakwah itu sendiri akan bernilai tinggi atau bertmutu tinggi apabila:
-           Sesuai dengan ‘standar’
-           Sesuai dengan harapan mad’u
-           Sesuai dengan yang dijanjikan
-           Semua karakteristik produk dan pelayanan yang memenuhi persyaratan dan harapan serta berorientasi kepada Al-Qur’an dan As-Sunnah
Dengan kata kunci:
-                     Adanya evaluasi
-                     Serta diadakannya standar, dan penetapan mutu
-                     Adanya kegiatan pengendalian (controling)
-                     Benchmarking
Dengan rumusan proses:
Planning       Doing       Checking       Action

Dengan kontrol atau pengawasan terhadap standar dari Dakwah itu sendiri, hasil evaluasi berfungsi sebagai alat untuk memperbaiki kualiatas tahap demi tahap agar lebih baik lagi daripada sebelumnya.
Peningkatan Mutu
Standar                           pelaksanaan                         Monitoring

                           Stand. Baru

       peningkatan Mutu                                 Rumusan            Audit          Evaluasi
Pada bagan ini menjelaskan untuk meningkatkan mutu itu sendiri, harus adanya tahap monitoring pada saat pelaksanaan, fungsinya agar adanya bahan untuk dijadikan evaluasi. Kemudian pada tahapan audit dirumuskan (pengkoreksian), lalu untuk meningkatkan mutu dakwah itu sendiri maka di buatlah standar baru dari hasil rumusan koreksi. Perbaikan itu menjadikan dakwah dari awal sampai akhir pelaksanaan lebih baik lagi dari pada sebelumnya.

C.                KERANGKA TEKNIS
1.                  Pola Dakwah
Secara di dalam pembahasan awal, dakwah secara global dalam artian luas atau umum mempunyai makna yang sempti, yaitu mengajak, menyeru dll. Yang pada intinya dakwah bukan hanya saja menyeru atau mengajak pada jalan kebaikan, oleh karena itu pula dalam arti umum dakwah dapat dibedakan menjadi dua :
Pertama, Dakwah  Allah (Rabbani), yakni dakwah yang dilakukan oleh orang yang berlandaskan atas apa yang telah di perintahkan oleh agama Allah, dengan pegangan atau hukum yang berlandaskan Al-Qur’an (Firman Allah), As-Sunnah (Hadist Nabi) dan Al-Ijtihad (Hasil Ikhtiar manusia) yang dimana hal tersebut untuk menyeru manusia pada jalan yang ma’ruf dan menjauhi kemunkaran.
Kedua, Dakwah Iblis (Syaithan), Iblis pernah berikrar pada Allah SWT atas pengusirannya dari Surga karena iblis tidak mematuhi perintah Allah untuk turut bersujud kepada Nabi Adam seperti malaikat. Oleh sebab itu, iblis memohon kepada Allah agar diberi penagguhan waktu agar dipanjangkan umurnya hingga Yaumul akhir nanti untuk menyeru anak cucu adam kedalam jalan kesesatan (kemunkaran) agar Allah murka dan turut memasukan manusia yang munkar kedalam panasnya neraka. “Iblis (menjawab), “Karena Engkau telah menyesatkan aku, pasti aku akan selalu menghalangi mereka dari jalan-Mu yang lurus.”(Q.S Al-Araf:16)
Maka secara singkat dapat disimpulkan bahwa, dakwah dalam artian umum adalah mengajak, menyeru. Dan dakwah yang diridhoi oleh Allah adalah dakwah Islam.
2.                  Esensi Dakwah
Secara esensi, dakwah mempunyai nilai yang benar-benar absolut (mutlak) keadaannya adalah untuk menyeru atau mengajak setiap manusia kepada jalan kebenaran yang telah Allah berikan. Selain itu pula, jalan dakwah adalah jalan keselematan bagi umat Islam, karena disana terdapat perintah wajib bagi setiap muslim yang barang tentu akan mendapatkan ganjaran yang lebih dari Allah sebagai tabungan di akhirat nanti. Adapun secapa ilustrasi esensi Dakwah bisa digambarkan:

Salimul ‘ Aqidah
                                                   Yad’u ila Al-khoiri
                                                   Amar ma’ruf                         KHOIRI
DAKWAH                                Nahyul munkar                     UMMAH
                                                   Taghyirul munkar                
Shahihul Ibadah

3.                  Kaderisasi Dakwah
Salah satu fungsi dari kaderisasi merupakan jalan dimana kuantitas adalah alat penunjang agar tujuan dapat dicapai, dengan bertambahnya anggota atau personil yang dibina juga dijaga, maka tujuan yang di idam-idamkan akan lebih mudah untuk dicapai, adapun cara dari kaderisasi dakwah yaitu:
Pertama, Rekruitmen/ perekrutan, berfungsi untuk merangkul calon-calon kader sebelum di bina untuk menjadi Anggota.
Kedua, Pendidikan, berfungsi sebagai sarana pengantar untuk calon kader, ataupun kader muda, dengan kata lain pendidikan adalah pembinaan awal berupa teori-teori agar calon kader lebih mengerti fungsi dari dakwah itu sendiri.
Ketiga, Penataran, dengan cara ini para anggota bisa mengambil pengalaman ataupun jam terbang yang lebih sebelum proses selanjutnya dimulai.
Keempat, Pelatihan, adapun pelatihan/training merupakan makanan pokok anggota sebagai pengaktualisasian mini dari teori-teori yang sebelmnya telah didapat dari pendidikan.
Kelima, Pembinaan, fungsi dari pembinaan ini sendiri adalah untuk terjaganya kestabilan kader di dalam menempuh ajaran agama khususnya ajaran ilmu dakwah ini. Karena ketika kedisiplinan telah dimulai, maka jalan untuk memberontak pun semakin kecil.
Keenam, Advokasi, setalah adanya proses panjang, maka advokasi berperan agarpara kader merasa terbayar akan jerih payah yang telah mereka bangun dari awal. Atau singkatnya sebagai tanda terima atas pelantikan kader  itu sendiri.
Seperti di dalam Organisasi atau lembaga, fungsi dari pembinaan kader tidak dapat lepas adanya peran serta pemimpin dan Staff yang lainnya. Sebagai kesatuan yang solid di dalam organisasi, hendaknya untuk membina kader dakwah itu sendiri haruslah dengan pemimpin yang bijak, manajemen yang baik, organisasi yang sehat, dan administrasi yang rapih agar semangat jihad fi sabilillah dapat terwujud  dari tiap diri kader karena dampaknya dapat membuat kader merasa nyaman.

4.                  Persaingan  dan Tantangan Dakwah
Mengingat bahwa saingan terbesar Dakwah Allah adalah dakwah iblis, maka terkadang amatlah sukar untuk mendelegasikan dakwah Allah kepada orang-orang, jika da’inya amat lemah akan keimanannya (inmaterinya) kepada Allah SWT. Manusia digoda oleh syetan dari empat arah. Seperti di dalam surat Al-Araf ayat 17:
“Kemudian pasti aku (Iblis) akan mendatangi mereka dari depan, dari belakang, dari kanan, dan dari kiri mereka. Dan Engkau tidak akan mendapatai kebanyakan mereka bersyukur.”(QS. Al-Araf:17)
Ayat ini menjelaskan bahwa Iblis akan menggoda/menyeru manusia kedalam keburukan dari berbagai arah. Adapun tiap arah dapat dimaknai:
a.       Dari depan: untuk meragukan manusia akan adanya hari akhir serta tentang akhirat.
b.      Dari belakang: membuat manusia lebih senang masalah dunia/materi
c.       Dari kanan: membuat manusia disamarkan persoalan tentang agama
d.      Dari kiri: di hiasinya manusia dengan seluruh maksiat.


POSISI MANUSIA DENGAN SYETAN

MUSUH
IKHWAN
            MANUSIA                                     QORIIN                             SYETAN
             HIZBUN

Oleh sebab itu, manusia khusunya umat Islam harus dapat memperteguh iman mereka, dimulai dari ketauhidan mereka, yakin akan adanya dzat Yang Maha Esa sebagai pencipta dan penguasa di alam semesta ini. Karena dengan iman dan ilmu manusia akan tergiring kedalam amal yang baik sehingga syetan pun tidak akan dapat mengganggu manusia malah segan karena merasa putus asa nantinya. Wallahu A’lam

D.                TAMBAHAN
1.                  Akar-akar penyimpangan dalam memahami Al-Qur’an
1.1.Tsabisul haq bil bathil : mencampur adukkan yang benar dengan yang bathil
1.2.Tahriful kalimat’an mawadli’ihi : menyelewengkan makna ayat.
1.3.Ta’wilul mutasyabihat : penafsiran ayat mutasyabihat dengan mencari kesesuaian dengan hawa nafsu.
1.4.Al Ghuluw Fiddin : berlebihan dan ekstrim dalam beragama
1.5.Taqdimul ra’yi ‘alal wahyi : mendahulukan akal atas wahyu
1.6.Al akhdzu bi ba’dlil ayat wa tarku bi ba’dliha : mengamalkan sebahagian ayat dan meninggalkan sebagiannya lagi.
1.7.Muwalatul kafirin : cinta, loyal atau setia terhadpa orang kafir.
1.8.Al ibtida fiddin : membuat bid’ah dalam Agama
.
2.                  Fenomena kekeliruan dalam memahami As-Sunnah
2.1.Ada yang hanya berpegang teguh kepada Al-Qur’an saja, dan tidak kepada sunnah Nabi SAW. Akibatnya dikalangan mereka tidak ada syari’at, aqidah, shalat, sunnatrawatubm ‘iedul fitri. ‘iedul adha, dsb. Karena menurut mereka semua itu tidak ada dalam Al-Qur’an.
2.2.Ada yang berpedoman kepada Al-Qur’an dan Hadistm tetapi tidak selektif, apakah itu hadist dhaif atau hadist shahih.
2.3.Ada juga yang berpedoman kepada Al-Qur’an dan Hadist  dengan selektif, tetapi harus menurut guru atau amirnya, seperti yang diterapkan oleh salah satu aliran dengan metode manqul-nya.” Apa yang diterangkan lewat gurunya itu pasti ia anggap shohih dan yang tidak lewat gurunya langsung ditolak walau hadist itu riwayat bukhari atau muslim. Oleh karena itu mereka menutupu diri dan tidak mau menerima kritik dari golongan lain.
Wallahu ‘alam bi showab










BAB III
PENUTUP
A.                Kesimpulan
Dakwah selain lahan yang harus di garap oleh para muslim, dakwah pula adalah suatu ranah dimana para muslim dapat memperdalam keilmuan tentang agama.
Terkhusus di dalam ajaran Islam, kaum muslimin diperkenalkan kedalam kerangka-kerangka yang menjadi salah satu metode dalam pelaksanaan dakwah secara sistematis, yaitu kerangka teoritis sebagai landasan dasar  di dalam pemahaman pengertian dakwah secara mendalam terkait masalah epistemologi, ontologi, maupun aksiologi. Lalu kerangka teoritis di dalam pemahaman pra pelaksanaan, guna pembekalan Da’i itu sendiri, dan kerangka Teknis yang menjadi ranah pengaplikasian dan ranah eksekusi.
Di dalam Al-Quran maupun As-sunnah, dakwah tersendiri dihukumi wajib untuk dikerjakan oleh para kaum muslimin. Oleh karena itu, pemahaman terhadap agama dengan cara belajar secara otodidak maupun berguru kepada yang ahli sangat di haruskan guna tercapainya tujuan dakwah, yakni dengan pemahaman para muslim yang kuat akan menjadikan pemahaman para mad’u terkhusus da’i menjadi lebih komprehensif yang berimplementasi tehadap sikap atau amalan para kaum muslim.
B.                 Saran-saran
Para kaum Muslim diwajibkan untuk melakukan dakwah, yakni menyeru para kaum muslimin maupun orang non muslim untuk masuk kedalam ajaran Islam secara Kaffah. Acapkali para muslim terkadang salah di dalam pemahamannya terhadap agama, baik ajarannya maupun komponen-komponen yang terdapat dalam ajaran tersebut yang akhirnya menimbulkan perpecahan karenanya adanya diorientasi terhadap pemahaman itu tersendiri.
Agar ajaran Islam menjadi ajaran yang benar-benar diakui sebagai ajaran yang absolut dan mutlak adanya karena diturunkan oleh Allah SWT, maka bagi para hambanya yang yakin dan percaya terhadap keberadaan-Nya wajib untuk mendalami Islam tidak setengah-setengah, guna terjaganya ajaran ini tetap berada di jalur yang seharusnya, yaitu dengan berlandaskan Al-Qur’an dan As-sunnah.
Untuk mendalami pemahaman itu, harus disertai dengan niat dan perjuangan yang sesuai di dalam mencari ilmu tersebut, seperti belajar secara khusus terhadap ajaran agama dengan menkaji Al-Qur’an selain di dalam menghapalnya, dll.
Dengan pemahaman dan niatan baik di dalam pembelajaran ilmu agama, niscaya akan terlahir iman ataupun tauhid terhadap dzat Allah, lalu akan timbul amalan yang menjadi jalan atau cara terhadap pengrealisasian dakwah itu tersendiri.





















Daftar Pustaka

Aep Kusmawan, M. d. (2004). Ilmu Dakwah. Bandung: Pustaka Bani Quraisy.
Departemen Agama RI. (2002). Al-Qur'an dan Terjemahnya . Jakarta Timur: CV Darus Sunnah.
Firdaus, A. M. (2013). Tugas Narasi Ilmu Dakwah.
                                                                                                                                                                                                        
   


[1] Aep Kusnawan, Napak Tilas Upaya Pengembangan Ilmu Dakwah.(Jakarta: Pustaka Bani Quraisy, 2004), hal 1
[2] Ibid hal. 2
[3] Ibid hal 5

Tidak ada komentar: